Di era otonomi daerah dan pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan oleh pemerintah pusat kini pemerintah daerah telah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurusi segala sesuatu tentang pendidikan di daerahnya masing-masing di seluruh Indonesia. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1; ''Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, keadilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.''
Pada era otonomi tersebut kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerah bersangkutan akan maju. Sebaliknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated, tidak akan pernah mendapat momentum yang baik untuk berkemabang (Suyanto; 2001).
Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah dalam pendangan Syaukani memiliki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah di seluruh Nusantara, terutama yang berkaitan langsung dengan sumber daya manusia dan alamnya dalam mendobrak kebekuan dan stagnasi yang dialami dan melingkupi masyarakat selama ini. Begitu juga dengan adanya desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah baik tingkat kabupaten atau pun kotamadya dapat memulai peranannya sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Di tingkat propinsi dan kabupaten akan diadakan lembaga nonstructural yang melibatkan masyarakat luas untuk memberikan pertimbangan pendidikan dan kebudayaan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerahnya (Kompas; 1999).
Di samping itu, dalam era otonomi sekarang ini peran masyarakat yang sebelumnya termarjinalkan, kini sydah saatnya dikikis habis dan diberikan kepercayaan dalam mengatur untuk bisa berperan dalam pemberdayaan dan pengelolaan pendidikan. Tidak hanya sekedar sebagai penyumbang atau dana penambah bagi sekolah yang terlembagakan dalam BP3. Dengan kata lain ketidakseimbangan dan ketimpangan antara hak dan kewajiban anggota BP3 (yang terdiri dari masyarakat yang merupakan kumpulan para wali/ orang tua siswa (peserta didik) dalam manejemen sekolah harus ditiadakan. Karena hal itu telah menjadikan lembaga yang seharusnya mewadahi partisipasi masyarakat-dalam hal ini para orang tua/ wali peserta didik-menjadi lembaga yang tidak ada fungsinya (disfunction). Maka ketika otonomisasi digalakkan adalah sudah saatnya masyarakat (orang tua) diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di sekolah dalam berbagai hal. Tapi, tidak hanya sekedar sebagai formalitas belaka, yang artinya, orang tua ketika diikutsertakan dalam musyawarah dengan pihak sekolah tidak hanya sebagai objek atau hanya sebagai pendengar saja (only learner). Melainkan harys benar-benar di libatkan secara langsung.
Begitu pula sebaliknya. Pihak sekolah dan BP3 yang biasanya sudah terlebih dahulu merencanakan dan menganggarkan SPP (misalnya) untuk siswa tidak melibatkan para orang tua/ wali siswa. Orang tua/ wali siswa (peserta didik) hanya dijadikan pihak kedua (the second man) dalam masalah tersebut. Yang pada gilirannya musyawarah tersebut hanya menjadi ''guyonan belaka'' atau sekedar formalisme.
Nah, di era otonomi ini hal itu sudah saatnya dirubah dan dibuang jauh-jauh dari paradigma berpikir kritis untuk membangun sebuah masyarakat yang berpendidikan, humanis, demokratis dan berperadaban. Agar masyarakkat yang selama ini termarjinalkan dalam lubang berpikir ortodoks tidak lagi ada dalam bangunan dan tatanan masyarakat yang dinamis dan progresif. Dan dapat bersama-sama membangun pendidikan yang maju dan qualified dalam percaturan internasional. Sehingga nantinya dapat terwujud masyarakat edukatif, pembelajar-bahasa Andreas Hafera-dan demokratis yang dapat turut serta menciptakan ''Masyarakat Madani'' sebagaimana yang kerap muncul dalam wacana kekinian dalam upaya membangun bangsa.
Bila yang terjadi demikian, maka masyarakat juga akan merasa bangga dengan dirinya sendiri dan pada gilirannya akan respek terhadap kemajuan dan perkembangan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan sendiri. Karena masyarakat telah diberikan penghargaan yang tiada tara sebagai makhluk sosial dan sebagai hamba Tuhan. Sehingga pendidikan masyarakat yang mencakup seluruh komponen masyarakat dan sekolah itu sendiri (baik orang tua/ wali siswa/ peserta didik, peserta didik sendiri, sekolah dan juga pemerintah) dapat berjalan sinergis, beriringan dan selaras.
Akan tetapi, hal itu tentu saja tidak begitu mudah untuk dilakukan. Karena berbagai elemen dan perangkat untuk menunjang itu semua haruslah dapat dengan tegas bahwa semua itu diimplementasikan hanya untuk mempertegas bahwa otonomisasi pendidikan sudah benar-benar dijalankan tanpa tedeng aling-aling. Dan berbagai upaya ke arah itu pun sudah sedang dan mesti digalakkan. Agar dapat mencapai hasil yang maksimal dan dapat memenuhi target yang telah ditentukan. Oleh karena itu, dalam dan untuk mempertegas otonomisasi pendidikan itu semua tidak hanya membutuhkan perangkat bantuan yang berupa materil. Melainkan, dukungan moril dan kotribusi pemikiran dan ide-ide segar sangat dibutuhkan.
Tetapi, itu semua tidak hanya cukup diberikan oleh segelintir masyarakat saja. Justru, dukungan seluruh komponen masyarakat kita pun juga amat menentukan proses keberlangsungan itu semua. Maka tidak heran bila Suyanto menyatakan Otonomi Pendidkan harus perlu mendapat dukungan DPRD. Karena, DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut.
Hal itu selaras dan menemukan relevansinya sebagaimana pasal 14 UU. No. 22/ 1999; di setiap daerah otonomi memiliki sistem pemerintahan yang terdiri dari DPRD sebagai badan legislatif daerah, Pemerintah daerah (Pemda) sebagai badan eksekutif daerah. Kemudian, insititusi itu harus bekerja sama secara seimbang agar daerah otonom dapat berfungsi secara efektif dan demokratik bagi semua warga masyarakat.
Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun paradigma dan visi pendidikan di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, badan legistlatif daerah ini harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik. Dan memiliki kesetaraan dalam kinerja legislasinya. Juga, bagi kepala daerah dalam membangun pendidikan di daerahnya masing-masing.
Lebih dari itu, Dewan Daerah atau Dewan Kota perlu ikut memberikan warna keputusan politik di bidang pendidikan daerah. Kepala Pemerintah daerah/ kota harus diberikan masukan secara sistematis dan berkelanjutan dalam membangun pendidikan daerah (ibid). Karena bila tidak, maju dan mundurnya pendidikan di era otonomi daerah adalah tergantung dari dan kebijakan politik yang diambil di bidang pendidikan yang dihasilkan Dewan Daerah atau Dewan Kota yang melembaga ke dalam DPRD.
Bahkan dikatakan Eko Budiharjo, berkaitan dengan diimplementasikannya otonomi pendidikan, sudah barang tentu peran dari lembaga pendidikan sebagai pusat pengetahuan (central of science), ilmu teknologi, dan budaya menjadi lebih penting dan sangat strategis. Dan hal itu dilakukan adalah dalam rangka pemberdayaan daerah, untuk mempertegas otonomi yang sedang berjalan. Disebabkan kebanyakan pemerintah daerah tingkat satu (propinsi) apalagi tingkat dua (kabupaten dan kotamadya) tidak memiliki sumber daya manusia (sdm) yang cukup handal dan potensial untuk mengelola dan mengatur daerahnya secara optimal. Kerja sama yang lebih erat antara lembaga pendidikan di daerah dengan pemerintah daerahnya sangat diperlukan.
Lebih lanjut Eko Budiharjo menegaskan, tokoh-tokoh ilmuwan dan pakar dari kampus lebih didayagunakan sebagai braint trust atau think thank untuk pembangunan daerahnya, tidak hanya sekedar sebagai pemerhati, kritikus, atau penggecam kebijakan daerah. Sebaliiknya, lembaga pendidikan yang ada juga harus dapat membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya, dan tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah (problem solving) yang dihadapi oleh rakyat.
Selain itu, pemerintah daerah pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah. Pemerintah pusat hanya diperbolehkan dan dipersilahkan untuk memberikan kebijakan-kebijakan dalam persoalan tersebut. Namun itu pun harus atas dasar persetujuan bersama pemerintah-pemerintah daerah. Atau dengan lain perkataan, keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ini hanya mencakup dua aspek; mutu dan pemerataan. Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan, dan berupaya agar semua siswa dapat berprestasi setinggi dan sebaik mungkin. Agar semua sekolah dapat mencapai standar minimum mutu pendidikan, dengan keragaman prestasi antarsekolah dalam suatu lokasi sekecil mungkin. Pendeknya, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Karena otonomi pengelolaan pendidikan berada di tingkat sekolah. Maka peran lembaga pemerintah adalah memberi pelayanan dan dukungan kepada sekolah. Agar proses pendidikan berjalan efektif dan efisien (Indra Djati Sidi; 2001). Sehingga, Masyarakat Berbasis Sekolah (MBS) yang kerap dibicarakan dapat menemukan konteks dan momentumnya, yang pada gilirannya dapat terwujudkan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar